Re-post: LOST WITH RYOTA

Hiks, sedih bener gue inget2 tuh akun.
Tapi sudahlah, yang berlalu biarkan berlalu.
Ada satu cerpen yang gue bikin (sebenernya gue sok-sok bikin novel, kalo dibilang cerpen kepanjangan), di akun gue itu (danynofreakers). Tapi tata letaknya agak bikin sakit mata.
Ini gue repost lagi tuh cerita dengan tata letak yang lebih yahud.
Kalo kata-kata alaynya masih kebangetan, maklum yak, itu waktu ketika masih muda dan ah sudahlah...
Enjoy ^^




LOST WITH RYOTA




Seminggu yang lalu...

Seorang gadis belia yang baru lulus dari sebuah SMU di ibukota dengan nilai yang cukup memuaskan pergi berlibur ke negara matahari terbit. Hikari namanya, lahir dari ibu yang lama menetap di Jepang, dan ayah yang memang asli dari sana. Mereka memutuskan untuk menikah pada usia yang agak telat dan tinggal di Indonesia.
 Hikari ingin menelusuri salah satu desa di Hokaido, tempat terdingin di Jepang seorang diri. Meski sebelumnya ditentang, ia berhasil mengantongi izin setelah ayahnya menghubungi salah satu kerabat jauhnya disana.
 Kebetulan, istri dari sepupu jauhnya itu orang Indonesia sehingga Hikari tak perlu susah-susah untuk memperluas bahasa Jepangnya yang cuma sekedar moshi-moshi dan arigatou.
 Hikari berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta pada pukul 8 pagi. Ternyata perjalanan yang ia bayangkan tak semulus yang ia kira. Perjalanan ini cenderung lama, membuatnya pusing tak tertahan.
 "Are you okay?" tanya seorang pemuda berwajah oriental yang duduk di samping Hikari.
 Ia tersentak, bengong. Lalu akhirnya menggelengkan kepalanya.
 "You need some medicine, right?" lalu pemuda itu memanggil pramugari dengan jarak terdekat dari mereka menggunakan bahasa Jepang yang logatnya begitu alami.
Pramugari tersebut memberi satu tablet putih setelah memeriksa Hikari dengan sigap. Hikari meminum obat itu dibarengi air putih yang terasa begitu melegakan.
 "Sudah baikkan?" kata pemuda itu lagi dengan bahasa inggris yang kalau didengar lebih teliti, rada aneh.
 "Udah. Makasih ya?" jawab Hikari dengan bahasa Inggris yang tidak kalah, namun dengan logat yang berbeda pula.
 "Baru pertama kali ke Jepang?" katanya.
 "Iya..." Hikari menjawab gugup.
 "Ryota..." katanya sambil mengulurkan tangan. Hikari menjabatnya sambil berkata,
 "Hikari..."
 Terlihat kerut Ryota sedikit berkerut mendengar nama Hikari yang terkesan Jepang, meski kulitnya seputih orang Jepang, namun mata bulatnya yang bagai boneka itu membuatnya bertanya lagi, "Kamu orang mana?"
 "Indonesia, tau kan? Yang ada Pulau Balinya itu. Aku di pulau yang berbeda, namanya Pulau Jawa..." lalu ia melanjutkan, "ayahku orang Tokyo, sedang ibuku asli Indonesia..."
 "Pantas..." Ryota mengangguk-anggukkan kepalanya.
 "Kalau kamu?" kata Hikari penasaran.
 "Aku? Aku... Asli Jepang, lama di Amerika... Kuliah..." Ryota menjawab dengan ngambang.
 "Daerah mana?" tanya Hikari lagi.
 Bukan sebuah jawaban yang didapatkan Hikari, namun sebuah pandangan sendu, sepertii tersakiti sesuatu.
 "Hei, gimana kalo acara tanya-tanya-nya kita sudahi? Aku ngantuk..." Ryota menguap sambil memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
 "Baiklah kalau begitu, " Hikari memutuskan untuk merapatkan matanya, seperti apa yang dilakukan Ryota. Perlahan rasa lelah, kantuk dan dinginnya AC menyerubuti tubuhnya. Dan tak butuh waktu lama untuk membuat nafas Hikari melemah beraturan.

###


 Ketika sampai di Bandara yang bertuliskan huruf-huruf Jepang, mata Hikari terlanjur malas untuk melihat ke sekeliling apa gerangan nama Bandara tersebut. Sakit kepalanya yang masih merasuk, membuat jalannya sempoyongan dan hampir jatuh.
 "Hati-hati!" dekapan tangan yang lebar dan hangat mengapit badan ramping Hikari.
 "Ryota..." kata Hikari, mengijap-ngijapkan matanya sambil merenggangkan pelukan yang membuat dadanya berdesir itu.
 "Tadi aku liat kamu turun duluan, terus pas mau aku samperin, kamunya malah terlihat seperti orang kehabisan tenaga" Ryota terdengar cemas.
 "Oh, iya nih. Obat yang kemarin gak pengaruh sekarang. Kepala aku rasanya mau pecah." Hikari memegang kepalanya dan bersikap seolah akan oleng lagi. Tapi kali ini ia bisa menahan bobot badannya sehingga tubuhnya tegak dalam hitungan detik.
 "Gimana kalo kita minum kopi dulu?" Ryota membawakan koper Hikari, dan mengajaknya ke outlet kopi yang asapnya mengepul-ngepul. Hikari sebenarnya sadar, kalau ia tak seharusnya langsung percaya pada orang asing yang baru ditemuinya. Namun kehadiran Ryota menghangatkannya. Berhubung disini udaranya sangat dingin, Hikari menggigil-gigil karena jaket kulitnya tak sanggup untuk melindungi tubuhnya.
 Ketika mereka duduk di salah satu kursi yang masih kosong, Ryota sempat memakaikan jaket berbulu cokelatnya ke punggung Hikari. Hikari tersenyum sambil menggumamkan kata 'thank you'.
 Tak lama, Ryota kembali dengan dua cup plastik kopi memenuhi tangan kiri dan kanannya. Ia memberikan satu pada Hikari sambil memperingatkan kopi di sini sangat panas. Benar saja, panasnya bagai air panas yang baru mendidih, pikir Hikari sebal. Ryota yang sedari tadi memperhatikan sikapnya, tak bisa lagi menahan gelak tawanya yang terdengar renyah. This guy's weird. He can make me blushing in a short time. Make my heart pumpin' too.
 Setelah capek bercengkrama, mereka memutuskan untuk beranjak pergi.
 "Kamu mau kemana sekarang?" ujar Ryota.
 "Ke rumah paman, kata Ayah tinggal kasih aja alamat ini ke supir taksi, nanti paman yang membayar biayanya..." kertas yang tadinya ada di genggaman Hikari, diambil Ryota. Ketika membaca kertas itu, entah karena angin yang tiba-tiba menjadi kencang, kertas itu pun melayang dengan cepat.
 "Eh, eh..." Ryota mencoba mengambilnya kembali, namun tak berhasil. "Sorry..." kata Ryota lagi.
 "Well, aku bisa telepon lewat telepon umum..." bersamaan, mereka melihat telepon umum yang sudah karatan. Juga basah diterpa salju. Hikari hanya bisa bersungut kesal sambil mengucap sumpah serapah dalam Bahasa Indonesia yang takkan dimengerti oleh Ryota.
 "Aku juga baru pertama ke Hokaido, jadi..." Ryota memandang ke arah Hikari.
 "Kayaknya kita tersesat bersama deh..." kata Hikari dan Ryota hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju.
 "Gimana kalo kita nyewa hotel deket-deket sini?" Ryota yang mengucapkan kalimat itu santai, mendapat respon yang tidak santai dari raut muka Hikari. Buru-buru ia meralatnya, "gak-gak. Aku tau kok adat orang Indonesia yang ketimur-timuran. Maksud aku, nyari tempat berteduh aja. Kan gak mungkin kita diem di sini, gak aman..."
 Hikari membenarkan perkataan Ryota tadi. Ia merasa risih, tapi lebih risih lagi kalau harus kecopetan pada hari pertama, membuat rasa gengsi, tak ingin ditemani orang tuanya sia-sia saja.
 "Oke, deh." kata Hikari singkat.
 Mereka lalu menghentikan sebuah taksi yang tepat berhenti beberapa detik lalu. Ryota berbicara dalam Bahasa Jepang kepada supir tersebut. Supir itu mengangguk mesum. Heh! Kalo gue bisa ngomong, habis lo! Teriak Hikari dalam hati. Sialan aja, si supir pasti mikir yang nggak-nggak sembari melihatnya dan Ryota.
 Mereka pun sampai di sebuah gedung menjulang.Tidak terlalu tinggi, sekitar 4-5 lantai. Ryota keburu membayar uang taksi sebelum Hikari merogoh dompetnya, bersyukur ia tersesat bersama cowok yang nggak kere.
 Ryota begitu fasih berbicara dalam Bahasa Jepang. Ia pun berbicara pada resepsionis perempuan yang umurnya sekitar 19-20 tahunan. Resepsionin itu begitu berbinar melihat Ryota. Tapi memang betul sih, sumpah Hikari dalam hati. Cowok yang baru dikenalnya ini terlihat begitu dewasa, juga tampan. Dadanya yang bidang menunjukkan kalau Ryota sering melatih otot-ototnya.
 "Sudah, ayo?" Ryota menggenggam tangan Hikari.
 Hikari melirik sebentar ke arah si resepsionis, merasa menang melihat raut wajah itu cemberut mengiringi dirinya dan Ryota.
 Kamar nomor 4-3. Mereka masuk dan menemukan ruangan yang cukup sempit, namun berisi 1kamar mandi, 1 ruang makan yang mecakup dapur, beserta satu kamar tidur. Tunggu dulu... Satu kamar...?
 "Kok cuma satu kamar, sih?" sungut Hikari.
 "Oh, itu. Jadi gini, tadi aku udah minta yang kamarnya double, tapi katanya lagi penuh... aku udah minta selimut tebal lebih kok..." Ryota melanjutkan, "selimut tebal Jepang maksudku..." katanya sambil menuju ke kamar mandi.
 "Mau kemana?" pertanyaan bodoh, namun karena merasa hanya Ryota kawan penghilang sepi satu-satunya, Hikari merasa sedikit jengah.
 "Mandilah. Gerah tau!" kata Ryota nyengir, menanggapi sikap Hikari yang rada kekanak-kanakkan.
 Hikari bingung akan melakukan apa. Ia hanya duduk di dekta meja yang begitu rendah. Meja yang pernah dilihatnya di serial kartun Shinchan. Eh, kan dibawahnya hangat? Kenapa gak coba masukkin? Benak Hikari. Ia pun memasukkan kedua kakinya yang hampir membeku ke dalam meja.
 Hangatnya...
 Tak lama, Ryota keluar dari kamar mandi, ditemani kepulan asap yang menguap-nguap.
 "Giliranku!" seru Hikari riang. Ia mengambil handuk putihnya dan bergegas masuk ke kamar mandi. Ia tak menghiraukan kebiasaannya keluar dari kamar mandi dengan hanya selembar handuk saja. Well, gak masalah kalo di rumahnya, tapi disini? Jepang? Bersama cowok pula! Dan Hikari baru menyadari keteledorannya setelah memutar keras air panas. Biarin deh, cueknya dalam hati.
 Di dalam kamar, perut Ryota meraung-raung minta diisi. Berbalutkan celana santai berwarna hijau, ia keluar sambil membiarkan dadanya terbuka. Rasa lapar mengalahkannya untuk sekedar mengambil kaos di ranselnya.
 "Aaa..." terdengar teriakan dari arah kamar mandi, lalu terlihat seorang gadis berbalutkan handuk keluar menjerit-jerit. Mungkin tak menyadari sosok di depannya, Hikari memekik lagi melihat seorang pemuda yang hanya memakai celana hijau tanpa baju sehelai pun. Baru kali ini ia melihat yang seperti itu, membuat teriakannya lebih keras lagi, "Aaa..."
 "Hikari, calm down..." kata Ryota, "ini aku, Ryota..." terang saja, wajah Ryota yang terlihat berbeda mungkin dikarenakan basah. Rambutnya yang biasanya berponi dan lepek, kini jingkrak seolah menjadi sosok yang sedikit membingungkan.
 "Ryota..." suara Hikari terdengar serak. Lalu teringat sesuatu yang membuatnya ngeri di dalam kamar mandi, ia kembali histeris, "walang sangit!" katanya dalam bahasa ibu.
 "Hah?" Ryota heran, sekaligus bingung. Apa tadi Hikari mengucapkan kata itu dengan benar? "Wa, apa?" katanya dalam bahasa inggris.
 Hikari tersadar akan kebodohannya, lalu bilang... "Serangga..." dalam bahasa inggris yang langsung ditanggapi anggukan oleh Ryota.
 Ketika menoleh ke belakang, Hikari melihat serangga yang mirip walang sangit tadi merayap keluar kamar mandi. Sontak ia kaget luar biasa. Hingga akhirnya menubruk Ryota dengan keras. Mereka pun jatuh dengan posisi Ryota di bawah.
 Ting-tong.
 Sesosok orang datang dan membuka pintu tradisional Jepang kamar mereka dan kaget ketika mengucapkan permisi dalam bahasa inggris. Ternyata seorang ibu-ibu tua, bisa dibilang sudah nenek-nenek. Ia tersenyum simpul sambil berkata dalam bahasa Jepang, "kelihatannya satu selimut cukup, apa ini perlu kubawa pergi?" yang nenek itu maksud adalah selimut permintaan Ryota tadi.
 Ryota menanggapinya dengan gagap. Namun posisinya yang masih di bawah Hikari membuat nenek itu mengerti dan membawa kembali selimut itu keluar dari kamar bertuliskan 4-3.
 "Mau sampai kapan kayak gini?" kata Ryota sambil bersemu merah.
 Hikari yang sudah sadar akan posenya tersebut, buru-buru menarik tubuhnya dari dada bidang Ryota.
 "Sorry..." ujar Hikari.
 Ryota tersenyum, menggumamkan gak apa-apa yang hampir tidak terdengar.
 "Aduh!" Ryota memegang kepalanya.
 "Eh, kenapa kamu?" Hikari panik, perasaan yang dia timpuk bukan kepalanya deh, kok si Ryota malah megang-megang kepala gitu?
 "Gak, gak apa-apa... " Ryota seolah menarik diri untuk melanjutkan perkataannya, lalu ia pun berkata, "terus... tidur... dimana?" ujarnya terbata-bata.
 "Ya di kamar..." Hikari tersentak, "oh, iya ya... Selimutnya kan dibawa nenek tadi!"
 Ryota berpikir sejenak, lalu bilang, "Ya udah, kamu aja yang tidur pake selimut itu, aku di..."
 Hikari buru-buru menyela, "Eh, enggak-enggak. Mana tega aku..."
 "Terus, mau gimana donk?" Ryota menatap Hikari heran.
 Tak lama, ide cemerlang terbesit di otak Hikari sehingga senyumnya menyungging bak Prof. Einstein.

###


 "Jadi aku tidur di sebelah kanan gitu?" Ryota memperjelas gagasan Hikari tadi.
 "Iya. Nah bantal ini yang jadi penghalangnya. Jangan macem-macem, ya!" Hikari mengingatkan.
 "Gak janji..." Ryota nyengir kuda. Membuat Hikari risih. Namun buru-buru Ryota melanjutkan, "ya gaklah. Mana mau aku..." ujarnya serasa jijik.
 Sukses membuat Hikari melongo, Ryota tidur dengan lelap. Melihat itu, Hikari pun mencoba menyandarkan kepalanya. Kantuk datang lagi, kelopak matanya pun tak menolak untuk memejamkannya hingga malam berganti pagi.


###


Hikari menghirup bau sedap. Kemarin ia bermimpi sedang ada di restoran favoritnya di Jakarta, lengkap dengan paket makanan khas Jepang yang membuatnya ngiler. Semakin lama, bau itu semakin membuatnya tak tahan. Ia pun membuka matanya. Butuh waktu beberapa menit untuk menyadari bahwa ia sedang berada di kamar tempatnya menginap semalam. Ia melihat cerminnya, menyisir rambut dan diikat ke belakang sebelum keluar kamar.
 "Pagi, Tuan Putri..." terlihat seorang pemuda memakai celemek warna krem, dengan apiknya menuangkan cairan berasap ke sebuah mangkuk besar.
 "Bisa masak ternyata..." gumaman Hikari terdengar sampai ke telinga Ryota, ia pun tersenyum.
 "Masak yang gampang-gampang sih bisa, asal jangan suruh aku masak pasta aja..." Ryota melepas celemeknya, lalu mengambil dua gelas air putih.
 "Thanks..." kata Hikari menanggapi.
 "Sama-sama..." ucap Ryota tersanjung.
 "Ngomong-ngomong, apa nih nama masakannya?" Hikari tiba-tiba teringat akan tayangan chef-chef di televisi Indonesia yang sedang marak digandrungi para chef aduhai. Mulai dari cewek seksi, sampai pake tekhnik kungfu segala.
 "Hold on... How about, spinach soup?" Hikari menatap Ryota, hampir terkikik kalau kata-kata Ryota tadi dialihbahasakan dalam Bahasa Indonesia, yang artinya ya, sayur bayam.
 "Cocok-cocok..." Hikari hanya mesem-mesem pada akhirnya.
 "Hei, bukan nama yang aneh, kan?" kata Ryota lagi. Ia, bukan. Tapi itu makanan kakeknya di Bandung yang dilahap cepat oleh gigi yang hampir rumpang semua. Hikari mengambil sesendok, lalu mencobanya sambil menahan tawa.
 Rasanya...
 "Kok..." Hikari menggantung kalimatnya.
 "Kok apa?" ujar Ryota penasaran.
 "Kok, enak?" Hikari tersenyum merekah ke arahnya.
 "Iya donk. Siapa dulu yang bikin, Chef Ryota~" Ryota tersenyum bangga.
 Mereka pun memakan sarapan yang sebenarnya terlihat sederhana itu dengan perasaan yang sama sekali tidak sederhana.

 Hikari meratap dalam kebosanannya. Badai salju yang sudah berjalan selama 2 hari semenjak menapakkan kakinya di daerah Hokaido tak kunjung reda. Sudah seharian pula ia duduk di ruang makan, mendengarkan alunan musik dari ipod putih kesayangannya.
 "I'm back..." suara dari arah pintu membuatnya menoleh untuk sejenak, namun asyik lagi dengan lagu tangga yang berjudul kesempatan kedua, sebenarnya banyak lagu hits tangga yang lebih populer belakangan ini, namun Hikari tetap membiarkan lagu itu nongkrong di playlist-nya yang hanya berisi beberapa lagu saja.
 Tarikan pelan mengambil headset Hikari di sebelah kiri.
 "Kamu bosen ya?" Hikari menatap Ryota, lalu memalingkan pandangannya ke arah jendela.
 "Hei, aku baru denger dari resepsionis tadi, kalo mungkin besok cuacanya bakal lebih baik. So, besok aku pingin ngajakin kamu nge-date..." Ryota pemberi penekanan pelan dalam kata 'date...
 "Hah?"' hal itu berhasil menyingkirkan headset yang satu lagi di telinga kanan Hikari, "You mean it?" kata Hikari lagi.
 Ryota mengangguk.
 "Ya udah deh kalo gitu, aku gak mau pas kita nge-date nanti, aku malah keapean lagi..." Hikari mematikan ipodnya, lalu melangkah ke kamar, "aku mau tidur dulu ya?" katanya.
 "Okay, i'll catch ya..." Ryota terdiam sebentar di ruang makan yang mencakup dapur itu. Ia menghembuskan nafas dengan satu hentakan, lalu beranjak untuk menyusul Hikari.

###


 Keesokan harinya, Hikari bangun dengan bersemangat, setidaknya udara tidak sedingin biasanya. Ia keluar kamar, mendapati Ryota telah siap dengan peralatan ski-nya.
 "Katanya mau nge-date bareng aku?" kata Hikari cemberut, ia pun mendudukkan pantatnya di hadapan Ryota.
 "Emang, siap-siap sana..." Ryota pun memakai sarung tangan tebal berwarna merahnya. Melihat Hikari tak juga beranjak, ia berkata lagi, "jadi gak? Aku kan ngajakin kamu main ski?"
 Hikari terhenyak.
 "Asal tau aja ya, Ryota si Tuan Serba Bisa, aku tuh gak pernah yang namanya main ski-ski gitu..." kata Hikari kesal. Soalnya kemarin kencan yang dia impikan tuh bukan main-main benda dingin bersama salju, melainkan kencan di taman yang dipenuhi oleh bunga-bunga yang warnanya beraneka ragam.
 "Kalo kamu pikir kita bisa nemuin taman bunga di Hokaido ini, aku sih hayo aja..." Ryota mengambilkan pakaian dan peralatan yang harus dipakai Hikari.
 "Kok kamu tau sih?" Hikari makin bingung saja.
 "Cuma nebak, lagian... Kamu gak bakal nyesel deh kalo udah nyoba, ski itu menyenangkan lagi..."
 Bujukkan akhir Ryota membuat Hikari jengah. Ia pun masuk ke kamar mandi untuk mandi.
 Ryota sempat berteriak, "aku tunggu di depan..." lalu membuka pintu dan menggebraknya dengan bersemangat.

 "Gimana, tempatnya bagus kan?" Ryota melirik Hikari yang sedari tadi diam.
 "Apanya yang bagus, dingin begini..." sungut Hikari.
 "Apa yang kamu harapkan? Sehari sesudah badai yang dikelilingi taman bunga?" Ryota melesat dengan lincah ke bawah, menuju gundukan salju yang lebih tinggi.
 "Eh, eh, mau kemana?" Hikari agak berteriak.
 "Aku mau main dulu, 5 menit lagi aku balik..." Ryota sempat berbalik sebelum akhirnya meluncur kembali.
 Hikari yang dihinggapi rasa kesal, akhirnya mencopot sepatu skinya. Untung ia sempat membalutkan kakinya dengan dua pasang kaos kaki sekaligus, jadi rasa dingin tidak terlalu masalah bagi kulitnya yang terbiasa di daerah tropis.
 Hikari ingat, waktu kecil ia sempat bermain ski dengan ayah dan ibunya. Ia merupakan anak semata wayang, jadi tak heran kalau arena bermainnya hanya dengan teman satu sekolah atau tetangga-tetangga membosankannya. Waktu itu, ia ingat, bersama dengan kedua orang-tuanya, tidur di atas salju sambil mengepak-ngepakkan tangan serta kaki. Mirip kupu-kupu. Ia merasakan sensasi kehangatan lagi ketika melakukannya untuk yang kedua kali.
 Hikari menatap ke awan, not bad, pikirnya. Lalu ia pun memejamkan matanya sejenak.

 Pukk!
 "Aw..." Hikari meringis kesakitan. Setelah itu, dahinya terasa basah dan dingin.
 "I;m back..." Ryota! Seharusnya ia tau sejak awal. Hikari pun segera mencari rumpukan es besar untuk melindungi dirinya. Ia membulatkan es di tangannya yang dilapisi sarung tangan tebal, ketika ia mendongak, Ryota sudah tak terlihat lagi.
 "Kemana dia?" gumamnya.
 "Cari siapa?" kata sebuah suara.
 "Cari Ryo..." kata-kata yang dikeluarkan Hikari tak sempat dilanjutkannya karena keburu ditimpukki bola salju lagi oleh Ryota. Ryota berlari sambil tertawa.
 "Sialan, eh. Mau lari kemana kamu!" kejar Hikari, bola saljunya pun dilapisi lagi oleh salju-salju disekitarnya. Ia mengambil ancang-ancang, lali berkata dengan keras, "Ryota!" katanya.
 Orang yang dipanggil pun menoleh, kesempatan itu tak disia-siakan oleh Hikari untuk melempar si Ryota.
 Mendengar suara mengaduh Ryota dari jauh, Hikari merasa senang bukan kepalang.
 "Haha, akhirnya kena juga!" pekiknya bangga dengan dirinya sendiri yang sukses membuat Ryota tersungkur.
 Tunggu dulu? Tersungkur? Ia kan hanya melempar satu bola salju saja, tapi mengapa Ryota terlihat kesakitan begitu?
 Hikari pun berlari cemas ke arah Ryota.
 "Ryota, are you okay?" Hikari menyandarkan kepala Ryota di pangkuannya.
 "I..." Ryota tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Matanya yang tadi mencoba tersenyum, kini terpejam.
 Hikari yang panik pun berteriak ke arah sekelilingnya.
 "Help! Please help us! Anyone!"


###


 Hikari terduduk lesu, ia berdoa sepanjang perjalanan ke klinik ini. Ryota berhutang satu penjelasan padanya. Setidaknya setelah apa yang terjadi, tak mungkin Hikari terima begitu saja kalau nantinya ia harus mendapat jawaban, "gak ada apa-apa" yang menurutnya hanya membuat semua lebih rumit.
 Seorang dokter perempuan keluar, berbicara dalam bahasa yang begitu asing.
 "Pardon me. Can you speak english?" Hikari bersuara, serak.
 "Oh, i'm sorry..." lalu dokter yang terbilang perempuan itu melanjutkan dalam bahasa Inggris. "Apakah anda keluarganya?" tanya sang dokter.
 "No, no.... Saya..." Hikari kesusahan ketika dokter akhirnya mengangguk mengerti.
 "Apakah anda sudah diberitahu bahwa..." dokter sengaja menggantung kalimatnya, Hikari yang penasaran pun menjawab...
 "Tidak. Saya..." ketika hendak melanjutkan, sang dokter menyela sopan.
 "Oh, maaf kalau begitu. Saya tidak bisa berkata lebih lanjut, penjelasannya bisa anda dengar langsung dari mulut pasien..."
 Mendengar itu, Hikari terkejut.
 "Apakah pasien sudah sadar Dok?" tanyanya antusias.
 "Sudah, tapi saya harap anda tidak bertanya terlalu banyak..." lalu berkata pelan, "ia harus beristirahat yang cukup. Permisi kalau begitu?" dokter hendak pergi sebelum bertanya, "nama anda siapa ya?"
 Hikari menjawab reflek, "Saya Hikari, terima kasih banyak, Dok..." ia pun tersenyum.


###


Ryota merasakan kepalanya pening, seolah tertindih bongkah batu besar yang terbuat dari besi. Ia melihat sekeliling, lalu didapatinya sosok seorang gadis dengan muka cemas.
 "Kamu membuatku cemas..." kata Hikari pelan, setengah berbisik.
 Ryota hendak berbicara, namun ada sesuatu yang menutup mulutnya, sampai ke hidungnya.
 "Udah, gak apa-apa. Kamu istirahat aja dulu... Tidur yang banyak, biar lekas sembuh..." Hikari memutuskan untuk berpura-pura. Ia menahan rasa penasarannya, bahkan menyunggingkan senyum. Sekedar untuk membuat Ryota rileks.
 Ryota tersenyum, begitu sendu. Mukanya yang kini pucat terlihat begitu berbeda. Hikari melihat mata Ryota perlahan terkatup, terlihat begitu lelah. Ia pun menepuk tangan Ryota pelan, membuatkan suatu irama yang lembut dan menenangkan.

###


 Hikari tersenyum riang, dalam perjalanan pulang ke hotel kemarin, ia sempat menemukan satu-satunya toko bunga yang pertama kali ditemuinya di tanah Jepang. Ia begitu merindukan kelopak bunga-bunga yang meski warnanya tak seaneka di Jakarta, ia tetap jingkrak-jingkrak mengetahui ia membawa sedikit uang yang berlaku di Jepang, pemberian Ryota.
 Kini ia tinggal beberapa langkah untuk sampai di kamar rawat inap Ryota. Ia membuka pintu pelan, dan dilihatnya Ryota sedang terduduk, bersandar dengan bantal di tempat tidurnya. Ia melihat ke arah jendela besar yang bening, menikmati indahnya kesejukkan dunia luar yang tak sedingin kemarin.
 "Pagi, Tuan Ryota..." sapa Hikari.
 "Pagi..." Ryota tersenyum, agak kaku.
 "Tada!" Hikari menunjukkan bunga matahari yang sudah agak layu.
 "Wah! Dapat darimana? Kurasa sangat sulit mencari bunga itu di daerah sini?" Ryota tercengang. Hikari pun menjadi girang.
 "Itu yang namanya takdir. Aku gak sengaja menemukan bunga ini ketika pulang kemarin, terus aku beli satu deh buat kamu!"
 Ryota bingung, "Lho, itu kan dua batang?".
 Hikari yang sedari tadi berbicara di dekat pintu mendekat, lalu mendudukkan dirinya di sebuah kursi kayu. Tak jauh dari tempat tidur Ryota.
 "Satu buat kamu. Satu lagi buat aku!" Hikari lalu memberikan bunga itu kepada Ryota, yang melongo sejenak, lalu mengambil bunga yang terlihat begitu polos itu.
 "Thanks. I owe you one..."
 "You're welcome!" mereka pun berbincang seputar kegiatan yang dilakukan di tempatnya kemarin.
 Saking asyiknya, Hikari melupakan hal yang begitu membuat keluarganya khawatir.


###


 "Moshi-moshi?" Takao pun menjawab HP-nya yang sudah sangat ketinggalan jaman.
 "Halo... Takao-san? Ini aku, Maya..."
 Terdengar suara yang membuat Takao bingung, namun mendengar nama Maya, ia langsung bersua, "Oh, wait a minute..." Takao bergegas memanggil istrinya.
 "Halo, ini Dian... " kata istri Takao.
 "Dian, ini Mbak Maya. Gimana kabar Hikari disana?" kata Maya cemas.
 "Oh, Hikari..." Dian memandang suaminya... "Ia sedang jalan-jalan di sekitar rumah, baru aja, Mbak..." dusta Dian pada akhirnya.
 "Kok kamu biarin dia jalan sendirian?" Maya sedikit murka.
 "Oh, enggak kok, Mbak. saya udah suruh anak tetangga untuk menemaninya. Perempuan kok, namanya Megumi..." karang Dian buru-buru.
 "Baguslah... " Maya pun menghembuskan napas lega. "Megumi yang pernah aku pangku itu ya? Bagaimana rupanya sekarang?" tanya Maya, membuka percakapan basa-basi.
 "Iya, Mbak. Masih ingat saja..."
 "Moshi-moshi...!" jeritan salam terdengar di pintu depan rumah Dian dan Takao. Suaranya yang agak nyaring akhirnya sampai di telinga Maya.
 "Siapa itu, Dian?" tanya  Maya reflek.
 "Anak tetangga, Mbak... Sudah dulu ya..."
 Tut, tut, tuuut...

###

 Sore itu, Hikari membelikan bubur yang dibelinya di dekat klinik. Ryota menyuruhnya karena makanan dari klinik sangat hambar, ia hampir kelaparan sepanjang hari. Ternyata bubur permintaan Ryota tidak begitu susah dicari. Hikari tinggal memberikan kertas yang berisi tulisan Ryota, lengkap dengan harga yang tak jauh beda di samping catatannya itu.
 Ketika kembali, dilihatnya Ryota sedang menulis sesuatu. Karena tak ingin mengejutkan, ia mengetuk pintu sekali.
 "Masuk..." kata Ryota, matanya masih terpaku pada tulisan yang digelutinya dengan serius.
 "Lagi nulis apa?" kata Hikari, melongokan kepalanya di depan wajah Ryota.
 Ryota menutup kertas yang panjangnya hampir sama dengan kertas HVS, namun dengan ketebalan yang berbeda.
 "Secret..." katanya sok misterius.
 "Dasar! Eh, kata Dokter, kamu udah baikkan ya?" tanya Hikari dengan muka yang dipenuhi senyum.
 Ryota memalingkan matanya, seolah lebih bergairah untuk menatap lantai. Lalu ia mengangkat kepalanya, dan berkata...
 "Iya, aku mau jalan-jalan... Bisa temenin aku gak?"
 Hikari yang senang bukan kepalang, langsung menganggukkan kepalanya, lalu diikuti rambut hitamnya yang bergelombang.


###


"Kok kita ke sini sih?" Ryota ternyata mengajak Hikari ke belakang hotel yang mereka tempati beberapa hari yang lalu.
 "Iya, aku mau..." Ryota lalu mendekat ke sebuah pohon yang ditutupi salju. Ia mengusapkan tangannya yang berbalut sarung tangan bermotif biru tua ke batang pohon, menyingkirkan salju tentunya.
 "Look here..." katanya, Hikari pun mendekat.
 Terlihat ukiran di batang itu...
 "Jiro... Ma..." Hikari sempat merasa bingung saat membaca nama yang letaknya dibawah nama 'Jiro'...
 "Ini... " Ryota menahan nafasnya, mencoba membendung air mata yang sangat dirasanya kurang jantan. Di depan Hikari pula.
 Hikari diam, mencoba menjelajahi pikirannya yang telah memproduksi beberapa analisis. Analisis terakhirnya, itu adalah nama orang tua Ryota...


###


Butuh waktu satu hari bagi Maya dan suaminya, Kira, untuk sampai di tanah Hokaido. Mereka lalu mengehentikan sebuah taksi. Kira berbicara dalam bahasa Jepang yang sedikit membuat Maya mengerutkan dahinya. Kira-kira sudah 10 menit mereka berada dalam taksi itu, sangat berharap bahwa kekhawatiran mereka ini sia-sia.

 "Moshi-moshi..." Kira berteriak, sang empunya rumah pun datang sambil membukakan pintu.
 "Mbak Maya..." Dian datang menghampiri Maya, lalu memeluknya.
 "Dian, gimana kabar disini?" sementara Dian dan Maya asyik berbincang menuju ruang tamu, para lelaki malah asyik mengobrol sambil berdiri.
 Maya hendak menyuruh suaminya masuk, namun kelihatannya, Kira sedang larut dalam percakapan yang serius. Ini membuat hatinya semakin galau.
 "Mbak kok nggak ngabarin dulu mau nyusul Hikari ke sini?" kata Dian.
 "Oh, maaf deh kalau begitu. Biasa, kangen. Hampir seminggu tuh, rasanya kayak bertahun-tahun..." Maya tertawa renyah, agak akting sebenarnya. "Mana anakku...?" tanya Maya, menyunggingkan senyum seolah semua baik-baik saja.
 "Eh... soal itu..." Dian ragu-ragu. Atau bahkan sama sekali tak bisa menjawab. Maya yang dibuat kesal, sudah memelototkan matanya. Hampir saja ia lepas kendali, sampai Kira datang dengan tampang aneh...
 "Maya, this sounds bad..." katanya.
 "Sorry... Pardon me?" Maya bertingkah seperti orang yang salah dengar.
 "Our girl... Hikari..." Kira coba merangkai kata.
 "We never meet her... Even today..."

###


 Setelah kemarin, ia dan Ryota termenung di belakang hotel itu, hari ini Ryota mengajaknya jalan-jalan lagi. Ketika bertanya, Ryota menjawab dengan khasnya. "Secret..."
 Ternyata Ryota mengajaknya ke sebuah rumah kaca, yang di dalamnya benar-benar hangat. Juga banyak bunga-bunga yang bermekaran, sungguh kontras dengan suasana di luar rumah kaca ini.
 "Aku nepatin janji aku kan... Take you... To the dream world..." Ryota merentangkan tangannya. Mempersembahkan segala keindahan yang tertera. Seolah itu adalah karyanya yang dipersembahkan khusus untuk Hikari seorang.
 "Are you cryin'?"
 Kata-kata Ryota menyadarkan Hikari, kalau manusia itu ternyata ajaib. Ia sendiri bahkan tak tahu bahwa dirinya mengeluarkan bulir-bulir hangat yang melewati pipinya secara perlahan.

 "No... I just... " Hikari tak sanggup meneruskan kata-katanya, ia menggumamkan terimakasih dalam bahasa Inggris untuk mengungkapkan perasaannya.
 "Welcome..." cengir Ryota. "Well, i have a request for ya..."
 "What is it?" Hikari menghapus air matanya.
 "Hm... Let's see... Aku udah nepatin janji aku, jadi sekarang giliran kamu yang harus nepatin janji kamu..." Ryota menunggu reaksi Hikari.
 "But... I promised you nothing?" katanya bingung.
 "Kamu harus janji, untuk nggak menghapus aku dalam ingatanmu... Bahkan ketika aku udah nggak ada lagi di dunia ini..." Ryota tersenyum mengucapkan kata-kata aneh itu.
 "Ngomong apa sih..." Hikari mengenyekan.
 "Promise?" kata Ryota, mukanya terlihat lebih serius.
 "Yeah, yeah. I promise..." Hikari akhirnya menyetujui dengan pikiran yang masih melayang.
 "Satu lagi..." Ryota mengulurkan kumpulan kertas. Sepertinya yang ia tulis waktu itu? Terka Hikari. "Ini... Boleh kamu baca pada waktunya nanti..."
 "Okay. But when?"
 Pertanyaan Hikari tidak ditanggapi oleh Ryota.
 Ryota seperti tersenyum, senyum yang sangat berseri. Ia lalu menutup matanya.
 Jeda waktu yang terlampau lama membuat Hikari dihinggapi rasa cemas. Ia menghampiri Ryota yang hanya berjarak satu meter.
 "... What's wrong with you?" ia menyentuh punggung Ryota, lalu pipinya. "Hey, this is not funny! Wake up..." ia pun merasa begitu putus asa... "Ryota!"


###


 Hikari sedang menunggu di ruang tunggu klinik. Ia menelungkupkan tangannya, lalu menaruhnya di muka. Ia ingin menangis... Dan ia pun menangis...
 Tes... Tes...
 Mata Hikari yang basah menatap gulungan kertas.
 "Pada waktunya nanti..." terngiang lagi kata-kata itu...
 Ia membuka lembar pertama...

 Hi, Hikari.
I know this is not a perfect time for kidding around. And I won’t. Prepare yourself, coz there’s so much thing that I kept out of ya. And I’m sorry, please forgive me.
I actually live in Sydney, Australia, not America. I spent my boring life there with my Mom, without a Dad. Dad’s Japanese. He’s from Hokkaido. Mom doesn’t know his grave, so that’s why I’m here.
Dad passed away when I was thirteen. He went to Hokkaido for a business. I didn’t know that he had something that made him pass away so quickly. That’s when I found his diary.
From there, I know that he had another woman in his life, not just Mom. I upset, but I kept reading until I know the truth. Dad had a cancer. And he never let us to know about it.
That’s when the doctor told me about my cancer. I feel like nothing. I just… Feel sorry for my Mom’s life. She will loose again, soon. So, before you leave, I have one thing to ask you. Would you please send a letter for Mom? I beg you… Tell her where she can find and me. My grave... Sorry for making you crying, I know there’s a mistake when I met you. I shouldn’t feel it, but…
I AM FALLIN’ IN LOVE… WITH HIKARI…


 Tangis Hikari pecah, ia berteriak, mendengungkan kata-kata kasar dalam bahasa ibu yang tak akan dimengerti oleh siapa pun, setidaknya siapapun dalam lingkup klinik itu. Kecuali orang tuanya...
 "Hikari...?" panggil suara serak yang bernuansa serak itu.
 "Mom?" Hikari bangun dari duduknya, Maya pun berlari kecil. Mereka pun berpelukan dalam waktu yang begitu terasa pelan.
 Kira yang berwatak dingin, hanya memegang pundak putrinya. Menepuk-nepukkan tangannya yang putih.
 "It's gonna be fine..." Kira membuat perasaan Hikari lebih tenang.
 "How did you find me?" kata Hikari yang baru tersadar akan kehadiran orangtua tercinta di Jepang, DI HOKAIDO!
 "Well, some help..." Kira menunjuk ke arah Takao dan kawan-kawannya. Takao adalah seorang polisi senior, tidak mudah mencapai jabatan yang pernah dicapainya dulu. Dengan bantuan dari beberapa pihak, dan informan yang terpercaya, Hikari pun ditemukan.
 Belum selesai mereka berbincang, Dokter perempuan yang dulu pernah merawat Ryota pun keluar dari ruangan.
 "Dok, how is he?..." Hikari berdoa dalam hati.
 "Well, saya telah mencoba semampu saya, tapi..." Dokter itu diam sejenak, "you have two minutes left..." Dokter itu beranjak, namun Kira memanggilnya.
 Dokter itu lalu tertahan, terpaksa harus menjelaskan panjang kebar tentang keadaan teman baru si gadis kecilnya, Ryota.

 "Ryota..." panggil Hikari.
 Selang-selang yang menutupi hidung, kepala yang diperban. Sungguh membuat hatinya miris. Namun ia tak ingin melanjutkan kesedihannya, ia pun berkata...
 "Ryota... Aku gak punya waktu banyak... Aku... Juga sayang sama kamu..." ia mencoba menahan tangis, "waktu-waktu yang kita lewatin bersama. Tak peduli seberapa singkatnya kamu hadir di hidupku, aku tak menyesali itu sedikit pun... Kamu akan selalu terkenang, di sini, Ryota..." Hikari mendekatkan dadanya, lalu melampirkan tangan Ryota yang hangat disitu.
 Hikari sempat melihat sebulir tetesan air mata. Ryota mendengarnya!
 Ryota menggerak-gerakkan bibirnya...
 "Hikari..." suara itu begitu parau, bahkan mata Ryota tetap terpejam. Lalu keluarlah sebuah kata yang tak butuh kamus untuk menterjemahkannya...
 Aishiteru... Ya, Hikari bisa menterjemahkannya lewat kamus hatinya.
 "Tuuuuuuuuuuuuuuuuuuuut........."


###

 "Kami tunggu disana ya, Nak..." kata Maya, yang menggandeng tangan Kira. Pemakaman berlangsung khidmat. Hanya dihadiri Dian, Takao, Dokter Perempuan yang ternyata bernama Maria, Kira dan Maya, serta tentu saja Hikari. Hari itu tangisnya telah kering. Matanya yang sembab karena menangis semalaman tertutup kacamata gelap yang bingkainya berwarna ungu.
 Setelah selesai, ia segera melaju. Menuju belakang hotel. Ia masih penasaran akan nama itu, sepertinya begitu berarti bagi Ryota.
 Ketika sampai, ia bergegas pergi. Kira dan Maya pun hanya geleng-geleng kepala...
 Sampai! Pekiknya dalam hati.
 Ia mengusap bacaan itu lagi.
 Jiro... Ma...
 Saat berusaha keras untuk membaca kata misterius itu, sebuah suara muncul...
 "It's Maria..." suara perempuan terdengar dari belakang Hikari.
 "Maria?" ulang Hikari.
 "Yes. It's my name... " Dokter Maria mendekat. "I met a guy, named Jiro" ia memandang Hikari, lalu melanjutkan, "We fell in love for one sight. He’s a nice guy, a really funny guy. But he already had a wife. So I just killed my love. It’s hurt, but I try, you know? He said that he will be back, but I never see him until now. He also made me promise to remember him forever. I did”… “When I meet Ryota, he’s really had a same face… Same smile… ” Hikari tersenyum menanggapi, “I never know that he would write my name here, the first place we met…” Dokter Maria beranjak, “I gotta go… So, see ya!” ia pun pergi.
 Hikari termenung sejenak, meresapi penjelasan Dokter Maria. Ia lalu beranjak juga, menuju Maya dan Kira.
 “Take me to the post office, please?” katanya pada supir taksi.
 Kira menerjemahkan dalam bahasa Jepang.
 Hikari pun bergegas mengemban tugas.
        Love is universal. And my love, will always belong to you... I will always remember...

RYOTA...




~ the end ~ 


Agak awkward sih baca postingan yang udah lama banget. 
Ditambah lagi kosakata gue, alaaaay beut wkwkwkkwkw
Tapi kangen sih baca lagi.
Ada lagi sih cerpennya, tapi tunggu selesai dulu ya, sampai ketemu lagi ^^


Thanks to:
Google
Alphacoders Images

Comments

Popular Posts