Cerpen - Random Strangers


Udah lama rasanya gak posting cerpen, hehe...
Habis belakangan sibuk banget sama kuliah, ya jadi baru bisa update sekarang.
Tanpa basa-basi lagi, enjoy ^^


Random Strangers by: Cyecey
Retrieved from: https://www.pexels.com/search/people/

"Jadi berapa semuanya, tante?" jawabku sambil menjangkau dompet yang letaknya agak tersembunyi di dalam tasku."Sebentar, tante" sambungku.
"Duh santai aja, kamu kapan bisa ambil? Dua hari lagi bisa?" ujar Tante tukang jahit tersebut.
Jujur saja, sudah agak lama rasanya aku menjadi pelanggan tetap di tempat ini, namun sampai sekarang aku tak mengetahui nama pemilik dari usaha jahit ini. Sungguh jahat memang kuakui. Tapi tak apa, toh kami memang murni bisnis. Meski kadang tak semurni itu.

"Bisa-bisa, dua hari lagi Inda kesini. Bayarnya boleh nanti tan?" ujarku merayu.
"Iya gak apa. Inget tuh kata tante, jangan serius-serius dulu. Nanti malah kayak tante lho" sejenak tersirat kilasan sayu dimatanya. 
"Iya, tante... Yuk tante, pamit ya" aku pun melangkah pergi sambil tak lupa meninggalkan senyum.
Kuambil helm berwarna abu-abu kesukaanku dan menyalakan mesin motor.

Sepanjang perjalanan, aku terus merenungi pembicaraanku dengan tante tukang jahit tadi. Meski pun kami sudah mengetahui satu sama lain lewat percakapan pelanggan dan penjual, namun aku tetap menganggap tante tersebut sebagai orang asing. Coba kau pikirkan sejenak bagaimana biasanya usahawan menarik minat pelanggannya (oke, usahawati, *terkesan jadul banget  penggunaannya): ialah dengan membuat pelanggannya nyaman lewat small talk. Apalagi di penjual berjenis kelamin perempuan, dan pelanggannya (baca: diriku sendiri) adalah seorang perempuan juga. Lengkaplah sudah persyaratannya.

Anyway, aku hanya ingin mengatakan dan dalam upaya menegaskan bahwa tante ini adalah seorang stranger. Alias orang asing. Tapi taukah? Dalam waktu sekitar 10 menit tadi, kami sempat berbincang sesuatu yang agak personal. Terlalu personal mungkin. Si tante bercerita tentang kisah cintanya (klise mungkin). Awalnya  hanya membicarakan pendidikanku dan tante itu pun membagikan sedikit cerita tentang jenjang pendidikan yang pernah ia tempuh. Kala membahas tentang saran-saran kehidupan (duh, berat ya), si tante pun bertanya padaku:

"Sudah punya pacar?"
Dan dengan sederhana tentu aku menjawab:
"Sudah tante..."

Nah, dari sanalah semuanya bermula. Ia pun memulai ceritanya yang tragis. Bisa kusebut tragis karena aku tak sampai hati mendengarnya. Semacam ada rongga di dadaku yang dipaksa untuk dirobek. Semua bermula ketika tante berpacaran dengan teman satu kampusnya. Mereka berpacaran semenjak semester dua. Jika aku tak salah ingat, hubungan itu berlangsung selama 4 tahun. Termasuk kala skripsi, wisuda, dan masanya mereka bekerja. Aku membahas ini karena hal-hal tersebut merupakan poin penting mengapa cerita ini tragis.

Ketika si lelaki diangkat lebih dulu untuk menjadi pegawai negeri, si perempuan (alias si tante) masih harus menunggu dan berusaha sebisanya untuk mendapat pekerjaan sebagai pengajar. Ia bercerita bahwa usahanya benar-benar sudah sangat maksimal untuk mengimbangi si lelaki. Namun apa daya, si tante malah ditinggalkan dengan alasan bahwa mertua si lelaki menolaknya karena ia belum diangkat sedangkan si lelaki sudah.

Terus siapa yang salah?
Ini pertanyaan yang paling sering muncul dalam kepalaku.
Hanya karena si perempuan belum mampu menjadi apa yang diinginkan, si lelaki bisa pergi begitu saja? Segampang itukah?

Mungkin karena aku baru-baru ini mengenyam dunia perkuliahan yang sama, aku tahu betul bahwa masa-masa skripsi, sidang, dan sampai dengan wisuda itu merupakan pengalaman yang cukup mengerikan. Dan salah satu pengalaman yang rasanya tak ingin kuulangi lagi. Lalu mengapa lelaki itu meninggalkan si tante yang sudah menemaninya selama empat tahun. EMPAT TAHUN.

Si tante mengakhiri ceritanya dengan menyampaikan beberapa kejadian yang diusahakan untuk membuat hati kecilnya sedikit lebih baik. Ia bercerita bahwa sang lelaki mendapat ganjarannya. Banyak hal yang tidak baik terjadi dalam rumah tangganya. Mungkin akan sedikit kusensor karena lumayan tidak enak untuk dibahas. Tapi intinya, lelaki tersebut mendapatkan hasil dari perbuatannya sendiri. Aku sempat mendapatkan dan sedikit ada keinginan untuk menyumpahi-mungkin lebih seperti membahas tentang konsekuensi kehidupan yaitu karma. Dan itulah yang terjadi.

"Mbak, nasi goreng dan es jeruknya satu ya"
Akhirnya aku sampai di cafe yang sangat sering kutongkrongi. Bahkan nuansa cafenya pun terasa sangat familier, which is comforting.
Membahas tentang cerita tante tadi, aku takjub.
Bukannya bagaimana, hanya saja aku heran bagaimana orang asing bisa saling bertukar cerita yang maknanya dalam sampai sebegitunya.

Aku masih ingat ketika si tante berkata bahwa kadang ia masih belum bisa melupakan cintanya pada lelaki brengsek tersebut. Ia mensyukuri pasangannya saat ini yang telah jauh lebih baik memperlakukannya. Namun tetap saja, luka dan kenangannya masih bersisa. Kualihkan tatapanku pada semut yang mencoba masuk ke dalam celah meja kayu di dekat kelingking kananku. Pikiran aneh mencuat begitu saja dalam pikiranku. Apakah semut juga pernah merasakan hal serupa. Emosi dan luka yang dirasakan manusia. Entahlah.

Imajinasiku yang abstrak ini pun buyar ketika pesanan makananku datang. Dan seseorang yang datang setelahnya.

"Hai" ujarnya.
Kenalkan ini pacarku. Andra.
"Nda, demen banget nongkrong disini?" katanya sambil menyunggingkan senyuman khas yang selalu merayu lawan bicaranya untuk ikut tersenyum. Oke, mungkin ini hanya berlaku padaku.
"Kurang tahu ya, mungkin karena semua makanan disini aku suka" jawabku sambil tersenyum.
"Dasar..." katanya sambil mengacak-ngacak rambutku. Aku suka sekali ketika ia melakukan hal ini, entah mungkin semua perempuan di dunia pun suka atau tidak. Sudahlah jangan dibahas, tidak penting juga.
"Kenapa kesini? Perasaan kita nggak janjian?" tanyaku sambil menyendok sesuap nasi goreng yang mengepul panas. "Mau?"
"Nggak, kamu makan aja. Aku pesen dulu deh..." ujarnya sambil bersiap memanggil pelayan.
"Dan nggak, kita memang nggak janjian. Tapi emang salah aku kesini nyari kamu?" ujarnya lagi kepadaku, lalu tersenyum simpul dan setelah itu memanggil pelayan untuk memesan orderan yang sama denganku.
"Aku suka frasa 'nyari kamu'..." ujarku pelan.
"Kamu seharusnya ngomong begitu dalam hati aja. Aku terdengar seperti oppa-oppa Korea..." katanya lalu cemberut.
"Haha, maaf... kebiasaan..."

Kami lalu mulai membicarakan beberapa hal terkait hari kami masing-masing. Petang itu pun berjalan seperti biasanya. Biasanya dalam arti yang menyenangkan. Andra selalu membuat hariku terasa spesial. Bahkan hanya dengan berbincang dengannya, aku merasa tenang. Dan bahagia.
Sebut saja aku terlalu berlebihan, tak apa. Karena itulah yang kurasakan saat ini.

Ngomong-ngomong, awal pertemuanku dengan Andra, itu pun karena kita berbagi cerita yang dalam meski masih berstatus orang asing...

"Kalau kau ingin mengejarnya, menunggunya, silakan. Tapi jangan biarkan ia merusak hatimu. Buat apa dia membuatmu menunggu tapi bersama orang lain?" ups, kala itu aku baru sadar beberapa detik setelahnya jikalau aku terlalu ikut campur. Kadang omonganku memang kurang terkontrol, sesalku.
"..." Andra tak menjawab. Mungkin karena memang pendapatku tak digubrisnya mengingat aku hanyalah orang asing.
"Rena juga mikir gitu sih, kak. Kak Andra bandel sih, susah dibilangin..." ini junior kami, Rena.
Aku dan Andra bertemu di sebuah acara anual di kampus. Dan kami satu divisi. Aku, Andra dan Rena. Biasanya kami sering hang-out bareng. Tapi hanya karena Rena salah satu yang enak kuajak ngobrol sih, dan Andra memang dekat dengan Rena. Kukira mereka PDKT, ternyata belakangan baru kuketahui bahwa yang diincar Rena bukan Andra, tapi Wahyu, ketua divisi kami.

Aku jarang mengobrol dengan Andra saat itu. Aku kenal Andra hanya karena Rena, tak lebih. Tapi ternyata keikut-campuranku berbuah manis. Entah bagaimana ceritanya aku dan Andra semakin dekat.

Ia awalnya sering menatapku dengan perasaan yang dalam (kata hatiku doang sih ini). Tapi... Aku senang ada yang menatapku seperti itu, kau tahu? Seperti, membuatmu nyaman dan tenang. Kadang kami berpegangan tangan, dan saling bertukar pandangan. Meski saat itu kami masih belum berstatus pacaran, aku semakin mengenal Andra yang hangat, baik dan sangat humoris.

Aku tak tahu, apakah random talk saat itu yang membuatku terus mengkhawatirkan Andra dan membuatnya mulai memandangku. 

Pembicaraan yang dalam bersama orang asing, masih merupakan teori yang aneh bagiku. Mungkin karena kita manusia. Semua manusia sebenarnya baik. Hanya saja, pengaruh lingkungan dan beberapa aspek yang lain yang menentukan. 

"Kok bengong?" suara Andra pun membuyarkan lamunanku.
"Hah? Nggak, bukan apa-apa..."

Dan kami kembali tersenyum. Aneh kadang bagaimana orang asing bisa membagi pengalamannya yang cukup personal pada orang asing lainnya. Tapi satu yang yang tak bisa dipungkiri adalah bagaimana manusia dapat menjadi begitu baik dan saling mengerti satu sama lain. Baik yang hubungannya dekat, sangat dekat... bahkan asing sekalipun.





Thanks to:
Andra ^^
Google, Blogger, Pexesl (pexels.com)

Comments

Popular Posts